TIM PENYUSUN :
Bayu Suci Hasandra (11.011)
Davit Rio Wijaya (11.015)
Farihah (11.029)
Kiki
Rizky Putra.A (11.041)
Lukman
Arifin (11.044)
PRODI D III
KEPERAWATAN
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
NUSANTARA PGRI KEDIRI
Jl.Kh. Achmad Dahlan No.76 Kediri Telp./Fax
(0354)771495
KATA
PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga kami panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kemurahan-Nya memberikan anugerah
berupa selesainya makalah yang berjudul “INTERAKSI
SOSIAL”ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Kebutuhan
Dasar Manusia II di Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Tujuan kami menulis makalah untuk mengetahui lebih dalam tentang Interaksi Sosial.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
kepada:
- Dra.Hj.Musijah,MM selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan dorongan sehingga kami dapat membuat makalah ini.
- Rekan-rekan tingkat 1A Program Studi Keperawatan yang turut membantu sehingga terselesaikan makalah ini.
- Orang tua, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara moral, do’a maupun materi yang tidak terhitung jumlahnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang
terbaik bagi semuanya. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat yang membangun
sangat diharapkan. Sebab, makalah ini jauh dari kata sempurna dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat. Amiin
|
Kediri, 18 April 2012
|
|
TimPenyusun
|
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
....................................................................................................
. 01
1. Latar Belakang
..........................................................................................................
01
2.
Maksud dan Tujuan ...................................................................................................
01
3. Rumusan Masalah
......................................................................................................
01
BAB II PEMBAHASAN
1. Konsep Interaksi
Sosial
.............................................................................................
02
1.1 Pengertian
Interaksi Sosial ..................................................................................
02
1.2 Fungsi
Interaksi Sosial ........................................................................................
02
1.3 Tujuan
Interaksi Sosial
........................................................................................
03
2.
Syarat Terjadinya Interaksi Sosial .............................................................................
05
3. Faktor-Faktor
yang Mendasari Proses
Interaksi Sosial .............................................
06
4. Tahap
–Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial ........................................ 06
5. Proses
Sosial Asosiattif dan Disosiatif
...................................................................... 07
5.1 Proses Asosiatif
...................................................................................................
08
5.2 Proses Disosiatif..................................................................................................
09
6. Masalah-Masalah Sosial
...........................................................................................
09
6.1 Pengertian
Masalah (Problem) Sosial
................................................................. 09
7. Masalah Sosial dalam Perspektif Teoritis
................................................................. 10
8. Sumber
Masalah Sosial dalam
Pendekatan Individu dan Pendekatan Kelompok
..... 13
9. Beragam
Masalah Sosial Dalam Pembangunan
....................................................... 13
9.1 Masalah
Kemiskinan
............................................................................................
13
9.2 Masalah
Kenakalan Remaja atau Perilaku Menyimpang Remaja ....................... 15
9.2.1
Faktor- Faktor
Penyebab Perilaku Menyimpang Remaja ....................... 16
9.2.2
Langkah untuk
Meminimalkan Kenakalan Remaja ................................ 16
9.3
Masalah Lingkungan Hidup ................................................................................
17
9.4
Masalah Konflik SARA ......................................................................................
17
9.5
Masalah Kriminalitas .......................................................................................... 20
9.6
Masalah Aksi Protes, Pergolakan Daerah, dan Pelanggaran HAM ..................... 21
BAB
III PENUTUP
1.
Kesimpulan dan
Saran ............................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Berawal dari keanekaragaman Budaya, Suku, dan Agama di wilayah Indonesia
ini kami
bersepakat mengambil Karya Tulis Berupa lingkungan Sosial dan Interaksi sosial. Kami
mengambil Tema ini guna memberikan Wawasan yang mendasar akan situasi
yang terjadi disaat perkembangan Teknologi mulai berkembang Sungguh menjadi dasar kami Sebagai Generasi
Muda mengangkat Suatu pokok permasalahan yang awal-awal ini
terjadi. Benarkah Pepatah yang mengatakan bahwa Bersatu kita padu bercerai
kita runtuh, oleh sebab itu peran serta Lingkungan serta adanya Interaksi
antar sesama membuat kita agar peka terhadap lingkungan serta interaksi antar
individu dengan individu lainnya.
2.
Maksud dan
Tujuan
a.
Melihat beberapa interaksi antar individu atau antar
kelompok.
b.
Menciptakan manusia menjadi Makhluk Sosial
c.
Menumbuhkan tenggang rasa
d.
Mencegah adanya kontak social yang bersifat negatif
e.
Menciptakan manusia yang mempunyai pemikiran yang maju dan berkembang
f.
Mencegah adanya pertikaian antar Suku dan Agama
3.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud interaksi sosial?
b.
Apa fungsi interaksi sosial?
c.
Apa saja faktor yang mempengaruhi interaksi sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Konsep Interaksi
Sosial
1.1
Pengertian Interaksi Sosial
Interaksi sosial
adalah hubungan timbal balik antar individu, individu dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok dalam proses-proses sosial di masyarakat. Hubungan
timbal balik tersebut disertai dengan adanya kontak sosial dan komunikasi.
Oleh
karena itu syarat utama terjadinya interaksi sosial adalah:
a.
Adanya kontak
sosial antar kedua belah pihak;
b.
Adanya komunikasi sosial antara kedua belah
pihak.
Sedangkan pengertian proses sosial adalah proses
interaksi antar aspek atau unsur sosial disepanjang aktivitas kehidupan manusia
di masyarakat. Wujud dari aktivitas proses sosial adalah kegiatan-kegiatan
sosial individu dan kelompok dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka pemenuhan
beragam kebutuhan hidupnya. Diantara konsep dasar dalam kajian tentang proses sosial
adalah interaksi sosial. Oleh karena itu menurut para ahli, inti atau dasar
dari proses-proses sosial di masyarakat adalah interaksi sosial (Biesanz, J.
and Biesanz, M. 1969; Soekanto, S, 2002).
Proses-proses sosial dalam kehidupan di masyarakat
bersifat dinamik, dan mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku di masyarakat.
1.2
Fungsi Interaksi Sosial
Proses interaksi
sosial yang bertentuk kerjasama atau kooperatif (asosiatif) mempunyai fungsi
positif antara lain:
a.
Proses pencapaian tujuan hidup individu atau kelompok lebih mudah
terwujud;
b.
Mendorong terwujudnya
pola kehidupan individu atau kelompok secara integratif;
c.
Setiap individu dapat
meningkatkan kualitas beragam peran sosial dalam kehidupan kelompok;
d.
Mendorong terbangunnya sikap mental positif pada setiap individu
dalam proses-sproses
sosialnya; dan
e.
Mendorong lahirnya beragam inovasi di berbagai bidang menuju
masyarakat
madani (masyarakat beradab).
Dalam
batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk persaingan atau kompetisi
(dissosiatif) mempunyai fungsi positif, antara lain:
a.
Menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat
kompetitif;
b.
Sebagai media
tersalurkannya keinginan, kepentingan serta nilai-nilai yang pada suatu masa
menjadi pusat perhatian secara baik oleh mereka yang bersaing;
c.
Merupakan alat untuk
menempatkan individu pada status dan peran yang sesuai dengan kemampuan/ keahliannya; dan
d.
Sebagai alat menjaring
para individu atau kelompok yang akhirnya menghasilkan pembagian kerja yang
efektif.
Demikian juga, dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk konflik (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, yaitu:
Demikian juga, dalam batas-batas tertentu, interaksi sosial dalam bentuk konflik (dissosiatif) mempunyai fungsi positif, yaitu:
a)
Dapat mendorong
terjadinya perubahan pola perilaku seseorang atau kelompok ke arah yang lebih
baik;
b)
Dapat mendorong terjadinya
atau terbangunnya solidaritas ingroup dalam kehidupan kelompok; dan
c)
Dapat mendorong
lahirnya karya demi karya yang lebih inovatif atau lebih maju (Wilson, E.K.
1966; Mack, R. and Pease, J. 1973).
1.3
Tujuan Interaksi Sosial
Interaksi sosial
merupakan faktor paling kunci dalam proses-proses sosial. Diantara tujuan
seseorang melakukan interaksi sosial antara lain:
a.
Untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan tertentu, baik yang bersifat
individu atau kelompok;
b.
Untuk proses pemenuhan aneka kebutuhan dasar
dan kebutuhan sosial atau pemenuhan kebutuhan fisik dan non fisik;
c.
Untuk meningkatkan kualitas kompetensi diri dalam berbagai aspek
kehidupan sosial di masyarakat;
d.
Untuk membangun
solidaritas ingroup atau outgroup dalam kehidupan sosial di masyarakat; dan
e.
Dalam rangka mendapat
masukan atau media evaluai diri atau refleksi diri tentag pola perilaku yang
telah di lakukan dalam proses-proses sosial (Horton, P. and Hunt, C.L. 1984;
Sunarto, K. 2000).
Dalam rangka
mewujudkan tujuan interaksi sosial tersebut, maka setiap individu selama proses
interaksi sosial harus berdasarkan kepada nilai, norma sosial yang berlaku
dalam kelompoknya atau masyarakatnya.
Nilai adalah
sesuatu yang diagungkan, dianggap baik, dan dijadikan sebagai pedoman
berperiku.
Menurut Notonegoro ada tiga macam nilai, yaitu
:
a.
Nilai material
(segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia);
b.
Nilai vital (segala
sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau
aktivitas hidup); dan
c.
Nilai kerohanian,
yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai
kerohanian terdiri atas empat macam, yaitu:
- Nilai kebenaran (kenyataan), yaitu nilai yang bersumber
pada unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta);
- Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur
perasaan manusia (estetika);
- Nilai moral (kebaikan), yaitu nilai yang bersumber pada
unsur, kehendak, atau kemauan (karsa dan etika); dan
- Nilai religius, yaitu nilai ketuhanan yang tertinggi,
mutlak, dan abadi.
Sedangkan norma adalah seperangkat aturan (tertulis dan
tidak tertulis), yang mengatur pola kehidupan dan interaksi seseorang dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup.
tidak tertulis), yang mengatur pola kehidupan dan interaksi seseorang dalam rangka pemenuhan beragam kebutuhan hidup.
Fungsi nilai dan norma bagi kehidupan bermasyarakat
adalah:
a.
Menetapkan harga sosial
seseorang dalam kelompok. Dengan nilai dapat menunjukkan seseorang berada pada
pelapisan sosial tertentu di masyarakat;
b.
Membentuk cara berpikir
dan berperilaku secara ideal dalam masyarakat;
c.
Nilai-norma dapat
menjadi faktor penentu yang terakhir bagi manusia dalam menjalankan peranan
sosial;
d.
Nilai-norma sebagai
alat pengawas dan pengontrol serta daya ikat tertentu agar seseorang berbuat
baik bagi kehidupan;
e.
Nilai-norma sebagai
alat solidaritas di kalangan anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama;
dan
f.
Nilai-norma menjadi
abstraksi (gambaran) pola perilaku masyarakat (Rose, A. M.1965).
2.
Syarat Terjadinya Interaksi Sosial
Ada
dua syarat utama terjadinya interaksi sosial, yaitu:
a.
Adanya kontak sosial.
Makna harfiah
kontak sosial adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi
apabila terjadi sentuhan badaniah.
Berdasarkan subjek pelakunya kontak
sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:
-
Kontak antara orang
perorangan;
-
Kontak ntara orang
perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; dan
-
Kontak antara suatu
kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya.
b.
Adanya
komunikasi (communication)
Berasal
dari bahasa Inggris ‘common’, artinya sama. Apabila kita berkomunikasi, berarti
kita berusaha untuk menimbulkan sesuatu persamaan (commonnes) dalam hal
pemahaman, penafsiran dan sikap dengan seseorang tentang sesuatu. Misalnya,
kita bersama-sama mempelajari suatu ide atau cita-cita dengan seseorang. Ini
berarti, bahwa kita mengemukakan sesuatu sikap (attitude) yang sama kepada
seseorang yang kita ajak berkomunikasi tadi (Pola. J.B.A.F.Major. 1991;
Soekanto S., 2002).
3.
Faktor-Faktor
yang Mendasari Proses
Interaksi Sosial
Faktor
penting yang menjadi dasar proses berlangsungnya interaksi sosial adalah:
a.
Nilai dan norma sosial
yang berlaku di masyarakat. Apabila individu atau kelompok dalam proses
interaksi sosialnya tidak mendasarkan pada nilai, norma yang berlaku, kehidupan
sosial akan terjadi disintegrasi atau ketidakteraturan sosial;
b.
Status dan peranan
sosial. Proses interaksi sosial yang dilakukan individu harus memperhatikan
status dan peranan yang melekat pada dirinya, juga memperhatikan kewajiban dan
hak-haknya.
Menurut para
ahli, berlangsungnya proses interaksi sosial dipengaruhi oleh beberapa, antara
lain:
a.
Faktor imitasi;
b.
Faktor sugesti;
c.
Faktor simpati;
d.
Faktor identifikasi;
e.
Faktor empati; dan
f.
Faktor motivasi. Keenam
faktor tersebut selama proses interaksi sosial bisa terjadi secara sendiri
(terpisah) dan juga bisa secara bersama-sama atau integratif.
4.
Tahap
–Tahap Keteraturan Sosial Dalam Interaksi Sosial
Antara
interaksi sosial dan keteratuan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat.
Hubungan yang erat tersebut dapat dipahami dari asumsi sebagai berikut:
a.
Dalam interaksi
sosial selalu terdapat kontak dan komunikasi, tujuan kontak dan komunikasi
adalah untuk mewujudkan keteraturan sosial (ketertiban hidup);
b.
Keteraturan sosial
(ketertiban hidup) akan terwujud apabila proses interaksi berdasarkan pada
nilai dan norma sosial yang berlaku;
c.
Nilai, norma sosial
adalah sebagai alat kontrol sosial (pengendalian sosial) terhadap perilaku
individu-kelompok untuk terujudnya keteraturan sosial. Jadi,
keteraturan sosial itu mempunyai hubungan yang selaras dan serasi antara
interaksi sosial, nilai sosial dan norma sosial.
Ditinjau dari segi prosesnya, terbentuknya keteraturan
sosial dapat melalui empat tahap, yaitu:
a.
Tahap tertib sosial
(social order), yaitu kondisi kehidupan kelompok yang aman, dinamis teratur,
yang ditandai dengan masing-masing anggota kelompok menjalankan kewajiban dan
memperoleh haknya dengan baik sesuai dengan status dan peranannya;
b.
Tahap order, yaitu
mengakui dan mematuhi sistem nilai, norma yang berkembang dalam kelompok;
c.
Tahap keajegan,
yaitu suatu kondisi keteraturan perilaku yang tetap (ajeg), terus menerus atau
konsisten dalam kehidupan sehari-hari; dan
d.
Tahap berpola,
yaitu corak hubungan (interaksi) yang konsisten, ajeg tersebut dijadikan
sebagai model (dilembagakan) bagi semua anggota untuk berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari dalam kelompok. Ketika proses
interaksi sosial sudah memasuki tahap berpola, maka proses-proses sosial di
masyarakat akan tercipta keteraturan sosial (Rose, A. M. 1965; Wilson, E.K.
1966).
5.
Proses Sosial Asosiattif dan Disosiatif
Sosiolog
Gillin and Gillin menyebutkan ada dua proses sosial yang terjadi sebagai akibat
adanya interaksi sosial, yaitu:
a. Proses asosiatif atau
bersekutu (processes of association); dan
b. Proses disosiatif atau
memisahkan (processes of dissociation).
Proses asosiatif
sering mengarah ke pola integrasi sosial, sedangkan proses disosiatif cenderung
mengarah ke disintegrasi atau sering disebut proses oposisi (berjuang melawan
pihak lain untuk mencapai tujuan) (Rose, A. M. 1965; Green, A. W. 1972).
5.1
Proses
Asosiatif
Proses sosial asosiatif mempunyai
empat bentuk, yaitu:
a.
Kerjasama
(cooperation), yaitu jalinan hubungan timbal balik yang didasarkan atas
kesamaan tujuan, kepentingan, dan orientasi hidup. Berdasarkan pelaksanaannya.Interaksi sosial dalam bentuk kerjasama dibedakan
menjadi lima macam, yaitu:
-
Kerukunan atau
gotong royong;
-
Bargaining, yaitu
perjanjian kerjasama tentang pertukaran barang dan jasa;
-
Kooptasi, yaitu
kerjasama untuk saling menerima unsur-unsur baru dalam pelaksanaan politik
organisasi agar tidak terjadi konflik organisasi;
-
Koalisi, yaitu
kerjasama antara dua atau lebih organisasi yang berbeda untuk mencapai tujuan
yang sama;
-
Join-venture, yaitu kerjasama dalam pengadaan
proyek tertentu yang berbasis ekonomi.
b.
Akomodasi
(accomodation).
Dalam proses
sosial, akomodasi punya makna dua, yaitu:
-
Sebagai keadaan,
yang berarti akomodasi adalah suatu keseimbangan interaksi antar individu/
kelompok berdasarkan nilai dan norma kelompok;
-
Sebagi proses, yang
berarti akomodasi bermakna usaha manusia untuk meredakan dua pihak yang sedang
konflik.
Akomodasi sebagai
proses, mempunyai beberapa bentuk, yaitu:
-
Koersi, yaitu
akomodasi yang prosesnya melalui pemaksaan;
-
Kompromi, yaitu akomodasi
yang ditandai oleh masing-masing pihak mengurangi tuntutannya agar ada
penyelesaian;
-
Arbitrasi, yaitu
akomodasi yang menggunakan pihak ketiga, dan pihak ketiga ditentukan oleh badan
yang berwenang;
-
Mediasi, yaitu
mirip dengan arbitrasi, hanya pihak ketiganya netral;
-
Konsiliasi, yaitu
akomodasi yang menggunakan cara mempertemukan keinginan yang bertikai untuk
dibuat kesepakatan;
-
Toleransi,
akomodasi yang didasarkan atas sikap saling memaklumi;
-
Stalemit, yaitu
masing-masing pihak mempunyai kekuatan yang seimbang;
-
Ajudifikasi, yaitu
akomodasi melalui proses pengadilan.
c.
Akulturasi
yaitu
proses pembauran dua unsur budaya yang berbeda sehingga menghasilkan budaya
baru, tetapi tidak menghilangkan unsur aslinya.
d.
Asimilasi
Yaitu
proses pembauran dua unsur budaya sehingga menghasilkan budaya baru, yang unsur
budaya aslinya mulai hilang.
5.2
Proses
Disosiatif
Proses sosial disosiatif mempunyai tiga
bentuk, yaitu:
a.
Persaingan
(competition), yaitu perjuang individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu,
tanpa merugikan pihak lain. Ada dua tipe persaingan, yaitu persaingan individu
dn persaingan kelompok;
b.
Kontravensi
(contravention), yaitu suatu bentuk proses sosial antara persaingan dengan
konflik. Cirinya adalah: masing-masing mersa saling tidak puas, masing-masing pihak
saling memendam perasaan kecewa, ragu dan benci. Istilah sehari-hari tentang
kontravensi adalah perang dingin.
c.
Konflik, yaitu suatu
perjuangan individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan jalan menentang
atau menyakiti atau merugikan
pihak lain. Macam-macam konflik antara lain konflik, agama, ras, suku, politik,
ekonomi, antar kelas, konflik internasional dan sebagainya (Sunarto, K. 2000;
Soekanto, S., 2002).
6.
Masalah-Masalah Sosial
6.1 Pengertian Masalah (Problem) Sosial
Masalah sosial
dalam perspektif sosiologis sering disebut sebagai problem sosial (social
problems) (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984). Masalah sosial merupakan suatu
gejala (fenomena) sosial yang mempunyai dimensi atau aspek kajian yang sangat
luas atau kompleks, dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif (sudut pandang
atau teori). Oleh karena itu banyak dijumpai beragam pengertian atau definisi
tentang masalah sosial (social problems) yang dikemukakan oleh para ahli.
Dari beragam pengertian tentang masalah sosial,
dapat disimpulkan bahwa suatu fenomena atau gejala kehidupan dikatakan sebagai
masalah sosial (social problems) adalah apabila:
a.
Sesuatu yang
dilakukan seseorang itu telah melanggar atau tidak sesuai dengan nilai-norma
yang dijunjung tinggi oleh kelompok;
b.
Sesuatu yang
dilakukan individu atau kelompok itu telah menyebabkan terjadinya disintegrasi
kehidupan dalam kelompok; dan
c.
Sesuatu yang
dilakukan inidividu atau kelompok itu telah memunculkan kegelisahan,
ketidakbahagiaan individu lain dalam kelompok (Coleman, J.W and Cressey, D.R.
1984).
7.
Masalah Sosial dalam Perspektif Teoritis
Dalam perspektif sosiologi, dijumpai berpuluh-puluh teori
yang digunakan untuk memahami fenomena sosial. Berikut
ini hanya dikemukakan empat teori dalam mencermati atau memahami tentang
fenomena sosial, yaitu;
a.
Teori fungsional
struktural;
b.
Teori konflik; dan
c.
Teori interaksionis
simbolik
Pertama, teori
fungsional struktural. Ada beragam versi teori fungsional struktural. Berikut
ini dikemukakan pandangan teori fungsional struktural versi Parsons dalam
memahami fenomena sosial, antara lain:
a.
Konsep kultur,
dipandang sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi orientasi
para individu untuk bertindak, berpribadi, bersosialisasi dalam sistem sosial.
Jadi, kultur akan menjadi faktor eksternal untuk menekan pola tindakan individu
dalam kelompok;
b.
Konsep sistem. Sistem
memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung. Sistem
cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan
hidup dalam kelompok (integrasi sosial). Sistem bergerak dalam proses perubahan
yang teratur (evolusi);
c.
Konsep integrasi.
Persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi sosial di dalam sistem sosial
adalah proses internalisasi dan sosialisasi. Dalam proses sosialisasi, nilai
dan norma diinternalisasikan (norma dan nilai menjadi bagian dari ‘kesadaran’
aktor), sehingga aktor mengabdi pada kepentingan sistem sebagai suatu kesatuan.
Individu atau aktor biasanya menjadi penerima pasif dalam proses sosialisasi;
dan
d.
Konsep
perubahan,sosial.
Teori
ini memandang bahwa:
-
Proses perubahan
yang terjadi akan mengarah pada keseimbangan (equilibrium) dalam sistem sosial,
apabila ada konflik internal, perlu dicari upaya-upaya untuk tetap terjaga
keseimbangan dalam sistem;
-
Perubahan evolusi
masyarakat adalah mengarah kepada ‘peningkatan kemampuan adaptasi’, menuju
keseimbangan hidup; dan
-
Apabila terjadi
perubahan struktural, maka akan terjadi perubahan dalam kultur normatif sistem
sosial bersangkutan (perubahan sistem nilai-nilai terpenting) (Sztompka, P. 1993;
Ritzer dan Goodman, 2003).
Kedua, teori konflik. Ada banyak
versi teori konflik, berikut ini hanya dikemukakan teori konflik versi
Dahrendorf. Beberapa konsep dasar pandangan teori
konflik Dahrendorf dalam memahami fenomena sosial, antara lain:
a.
Setiap masyarakat
setiap saat tunduk pada proses perubahan. Berbagai elemen kemasyarakatan
menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. Apapun keteraturan yang
terdapat dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh
mereka yang berada di lapisan atas;
b.
Teori konflik
menekankan peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat;
c.
Bahwa masyarakat
mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus Bahwa masyarakat tidak ada
tanpa konsensus dan konflik, keduanya menjadi persyaratan satu sama lain. Kita
tak akan punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya, sebaliknya konflik
dapat menimbulkan konsensus dan integrasi;
d.
Bahwa perbedaan
distribusi otoritas selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial
sistematis. Bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas yang
beragam. Otoritas tidak terletak di dalam individu, tetapi melekat pada posisi.
Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analisis fenomena
sosial;
e.
Otoritas individu ini
tunduk pada kontrol yang ditentukan masyarakat. Karena otoritas adalah absah,
sanksi dapat dijatuhkan pada pihak yang menentang;
f.
Masyarakat terlihat
sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas;
g.
Hubungan konflik
dengan perubahan adalah bahwa konflik merupakan realitas sosial, dan konflik
berfungsi sebagai penyebab terjadinya perubahan dan perkembangan (konflik yang
hebat akan membawa perubahan dalam struktur sosial) (Abraham, F.M. 1982; Ritzer
dan Goodman, 2003).
Jadi, individu adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial); Masyarakat adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu; Realitas sosial adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik; Interaksi sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori interaksionis simbolik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak didasarkan pada pandangan, motivasi, tujuan yang ada pada Diri, Jiwa dan Pikiran individu dari proses menangkap simbol-simbol dalam interaksi; dan (b) sesuatu itu hasil dari tekanan struktural (kekuatan eksternal) yang bersifat statis.
Jadi, individu adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi sosial); Masyarakat adalah dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari individu; Realitas sosial adalah bersifat individu dan sosial yang dinamik; Interaksi sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri; Interaksi sosial mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok dipelajari melalui bahasa; Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan.
Dari beberapa pokok pandangan atau asumsi teori interaksionis simbolik tersebut dapat diambil pemahaman bahwa sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila: (a) sesuatu itu tidak didasarkan pada pandangan, motivasi, tujuan yang ada pada Diri, Jiwa dan Pikiran individu dari proses menangkap simbol-simbol dalam interaksi; dan (b) sesuatu itu hasil dari tekanan struktural (kekuatan eksternal) yang bersifat statis.
8.
Sumber
Masalah Sosial dalam
Pendekatan Individu dan Pendekatan Kelompok
Berdasarkan
uraian masalah sosial ditinjau dari perspektif teoritik di atas, para ahli
mengelompokkan tentang sumber masalah sosial kedalam dua sudut pandang atau
pendekatan, yaitu:
a.
Pendekatan individu
(faktor internal); dan
b.
Pendekatan sosial atau
kelompok (faktor eksternal).
9.
Beragam
Masalah Sosial Dalam Pembangunan
9.1 Masalah Kemiskinan
Dalam
kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu:
a.
Kemiskinan absolut (a
fixed yardstick).
konsep
kemiskinan absolut ini dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit.
Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara
berbeda;
b.
Kemiskinan relatif (the
idea of relative).
Konsep
kemiskinan relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat
dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan daerah lain tidak
sama, demikian juga antara waktu dulu dengan sekarang berbeda;
c.
Kemiskinan subjektif.
Konsep
kemiskinan sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok
miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi kelompok
yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin, atau sebaliknya. Konsep
kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat apabila memahami konsep kemiskinan
dan bagaimana langkah strategis dalam menangani kemiskinan (Usman, S. 1998;
Tjokrowinoto, W. 2004).
Secara
sosiologis, kemiskian merupakan salah satu problem sosial yang paling serius
dialami oleh negara-negara berkembang. Secara umum kajian tentang kemiskinan
dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
a.
Perspektif kultural
(cultural perspective)
Konsep kemiskinan dalam perspektif kultural
dikelompokkan menjadi tiga tingkatan analisis, yaitu:
-
Tingkatan individu, hal
ini berarti kemiskinan karena mentalitas individu yang malas, apatis, fatalistik,
pasrah, boros, dan tergantung (mentalitas negatif);
-
Tingkatan keluarga,
hal ini berarti kemiskinan karena jumlah anak dalam keluarga sangat besar,
dengan pola budaya keluarga yang tidak produktif; dan
-
Tingkatan masyarakat,
hal ini berarti kemiskinan kerena tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi
masyarakat secara efektif.
b.
Perspektif struktural
atau situasional (situational perspective).
Konsep kemiskinan dalam perspektif
struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena dampak dari faktor-faktor
struktur masyarakat (faktor eksternal), yaitu terjadinya kemiskinan karena:
-
Program atau
perencanaan pembangunan yang tidak tepat;
-
Pelaksanaan
kekuasan pemerintahan (birokrasi pemerintah) yang korup;
-
Kehidupan
sosial-politik yang tidak demokratis atau otoriter;
-
Sistem ekonomi liberalistik
atau kapitalistik;
-
Berkembangnya
teknologi modern atau industrialisasi yang mekanistik disemua aspek;
-
Kesenjangan
sosial-ekonomi di masyarakat sangat tinggi;
-
Globalisasi ekonomi
dan pasar bebas. Jadi, menurut perspektif struktural kemiskinan itu terjadi
karena faktor ekternal, sedangkan menurut perspektif kultural kemiskinan itu
terjadi karena mentalitas individu atau kelompok (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto,
W. 2004).
9.2 Masalah Kenakalan Remaja atau Perilaku Menyimpang Remaja
Pengertian
perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang tidak
sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja
adalah semua bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma
sosial yang berlaku di masyarakat.
Diantara bentuk atau macam-macam
perilaku menyimpang remaja antara lain:
a.
Tawuran antar
pelajar;
b.
Penyimpangan
seksual meliputi homoseksual, lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah;
c.
Alkoholisme;
d.
Penyalahgunaan obat
terlarang atau narkotika;
e.
Kebut-kebutan di
jalan raya;
f.
Pencurian atau
penipuan, dan bentuk-bentuk tindakan kriminalitas lainnya
Kenakalan remaja pada umumnya diawali
dari munculnya gejala-gejala, antara lain:
-
Sikap apatis
terhadap kewajiban-kewajiban normatif yang melekat pada dirinya;
-
Adanya
kecenderungan sikap untuk suka mengganggu teman lainnya;
-
Sikap kecewa yang
berlebihan karena tidak terpenuhinya keingian tertentu;
-
Kurang fokus atau
perhatian terhadap suatu agenda kegiatan tertentu;
-
Sikap takut yang
berlebihan terhadap sesuatu yang dianggap merugikan dirinya; dan
-
Ketidakmampuan
untuk berperan dalam kelompok atau sikap ‘manja’ yang berlebihan (Sudarsono,
1995).
g.
Bentuk penyimpangan
perilaku remaja dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
-
Penyimpangan
primer, yaitu penyimpangan yang sifatnya temporer, sementara, dan masyarakat
masih bisa mentolerir;
-
Penyimpangan
sekunder, yaitu penyimpangan yang dapat merugikan atau mengancam keselamatan
orang lain, misalnya tindakan kriminal;
-
Penyimpangan
kelompok, yaitu penyimpangan yang dilakukan secara kelompok, misalnya geng untuk
berkelahi, narkotik; dan
-
Penyimpangan
individu, yaitu perilaku menyimpang yang dilakukan secara sendiri.
1)
Faktor- Faktor Penyebab Perilaku Menyimpang Remaja
Faktor-faktor penyebab terbentuknya perilaku menyimpang
remaja, antara lain:
a.
Ketidaksanggupan
menyerap norma budaya;
b.
Adanya ikatan
sosial yang berlainan dengan yang dimiliki;
c.
Akibat proses
sosialisasi nilai-nilai subkebudayaan menyimpang;
d.
Akibat kegagalan
dalam proses sosialisasi;
e.
Sikap mental yang tidak
sehat;
f.
Keluarga yang
broken home atau keluarga yang disintegrasi;
g.
Pelampiasan rasa
kecewa yang berlebihan;
h.
Dorongan yang
berlebihan untuk dipuji;
i.
Proses belajar yang
menyimpang;
j.
Dorongan pemenuhan
kebutuhan ekonomi yang salah; dan
k.
Pengaruh lingkungan
dan media masa yang negatif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Sudarsono,
1995).
2)
Langkah untuk Meminimalkan Kenakalan Remaja
Diantara
langkah strategis untuk meminimalkan terjadinya kenakalan remaja antara lain:
a.
Menciptakan kehidupan
rumah tangga yang beragama (menunjung tinggi nilai spiritual);
b.
Menciptakan kehidupan
keluarga yang harmonis (hubungan antara ayah, ibu dan anak terjalin dengan
baik);
c.
Mewujudkan kesamaan
nilai, norma yang dipegang antara ayah dan ibu dalam mendidik anak;
d.
Memberikan kasih sayang
secara wajar atau proporsional (tidak memanjakan anak);
e.
Memberikan perhatian
secara proporsional terhadap beragam kebutuhan anak;
f.
Memberikan pengawasan
secara wajar atau proporsional terhadap pergaulan anak di lingkungan masyarakat
atau teman bermainnya; dan
g.
Memberikan contoh
tauladan yang terbaik pada anak, dan setiap pemberian layanan pada aak
diarahkan pada upaya membentuk karakter atau mentalitas positif (Coleman, J.W
and Cressey, D.R. 1984; Wilis,S. 1994).
9.3
Masalah
Lingkungan Hidup
Problem atau
masalah lingkungan hidup harus menjadi perhatian yang sangat serius, karena persoalan
lingkungan adalah:
a.
Menyangkut jaminan
kualitas kelangsungan kehidupan generasi dimasa-masa yang akan datang; dan
b.
Kegagalan dalam
menangani persoalan lingkungan akan membawa dampak negatif disemu sektor
kehidupan, baik dalam level lokal, nasional dan bahkan dunia, misalnya:
terjadinya bencana banjir, pemanasan global; tanah longsor dan sebagainya.
9.4
Masalah
Konflik SARA
Masalah konflik
Suku, Agama, Ras dan Antar kelompok (SARA), bagi negara-negara berkembang yang
multikultural (termasuk Indonesia) adalah problem yang sewaktu-waktu bisa
muncul, dan dapat mengganggu kelancaran proses pembangunan. Oleh karena setiap
desain pembangunan dan pelaksanaan pembangunan harus betul-betul meminimalkan
terjadinya konflik SARA (Warnaen, S. 2002; Nugroho, F, (eds). 2004).
Unsur-unsur konflik SARA adalah:
a.
Ada dua pihak atau
lebih yang terlibat konflik;
b.
Ada tujuan yang
menjadi sasaran konflik, dan tujuan tersebut sebagai sumber konflik; dan
c.
Ada perbedaan
pikiran, perasaan dan tindakan untuk meraih tujuan yang saling memaksakan atau
menghancurkan.
Ciri-ciri konflik SARA adalah:
a.
Bersifat alamiah;
b.
Anggota suku,
agama, ras, antar kelompok yang terlibat konflik cenderung lebih terdorong
untuk melakukan konflik berikutnya untuk kepentingan kelompoknya;
c.
Umumnya terjadi
antara sara mayoritas dengan minoritas;
d.
Sering diiringi
dengan kekerasan yang berlangsung dalam ruang dan waktu tertentu;
e.
Mereka yang terlibat
konflik merasa belum puas karena kebutuhan mereka belum terpenuhi; dan
f.
Konflik melibatkan
dua kelompok kepentingan yang saling memperebutkan kebutuhan hidup
(Suryadinata, L., dkk. 2003; ; Liliweri, A.. 2005).
Sumber-sumber konflik SARA, yaitu:
a.
Perbedaan orientasi
nilai budaya dan masing-masing saling memaksakan kehendak;
b.
Tertutupnya pintu
komunikasi antar masing-masing pihak sehingga tidak bisa saling memahami pola
budaya;
c.
Kepemimpinan yang
tidak efektif; pengambilan keputusan yang tidak adil;
d.
Ketidakcocokan
peran-peran sosial, yang disertai dengan pemaksaan kehendak;
e.
Produktivitas
masing-masing pihak rendah dalam kelompok, sehingga kebutuhan kelompok tidak
terpenuhi;
f.
Terjadinya
perubahan sosial budaya yang bersifat revolusioner, sehingga terjadi disintegrasi
sosial-budaya;
g.
Karena latar
belakang historis yang tidak baik; dan
h.
Kesenjangan sosial-ekonomi
(Soetomo, 1995; Liliweri, A.. 2005).
Strategi penyelesaian konflik, antara lain:
Strategi penyelesaian konflik, antara lain:
-
Melakukan manajemen konflik. Manajemen konflik
adalah: “tindakan konstruktif yang direncanakan, diorganisasi, digerakkan dan
dievaluasi secara teratur atas semua usaha demi mengakhiri konflik”.
Ada
delapan konsep dalam melakukan manajemen konflik, yaitu:
1)
Pengakuan diri
bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada konflik;
2)
Analisis situasi
yang menyebabkan konflik;
3)
Analisis pola
perilaku pihak-pihak yang terlibat konflik;
4)
Menentukan
pendekatan konflik yang dapat dijadikan model penyelesaian;
5)
Membuka semua
jalur-jalur komunikasi, baik langsung atau tidak langsung;
6)
Melakukan negoisasi
atau perundingan dengan pihak-pihak yang terlibat konflik;
7)
Rumuskan beberapa
anjuran, alternatif, konfirmasi relasi sampai tekanan; dan
8)
Hiduplah dengan
penuh motivasi kerja dengan konflik. Semua konflik
tidak mungkin dihilangkan sama sekali, yang bisa hanya diminimalkan.
2)
Melakukan analisis
konflik, yaitu melakukan penelitian tentang pola budaya antar etnik atau
kelompok yang sedang konflik. Tujuan penelitian ini adalah:
a)
Akan dapat melacak
sejarah etnik, karena sejarah budaya etnik sangat menentukan karakter etnik
masing-masing;
b)
Menjelaskan faktor
penyebab konflik antar etnik;
c)
Melakukan
interpretasi terhadap konflik etnik dengan melihat sebab-sebabnya;
d)
Mengelaborasi
nasionalisme etnik dan peranannya dalam eskalasi konflik sosial; dan
e)
Menggambarkan situasi
khusus yang terjadi dalam kondisi kekinian dan meprediksi kondisi keakanan;
3)
Melakukan
pendidikan komunikasi lintas budaya. Diantara
strategi pendidikan komunikasi lintas budaya adalah memberlakukan pendidikan
multikultural yang terintegrasi pada setiap mata pelajaran di setiap satuan
pendidikan. Inti pendidikan multikultural adalah, demokratisasi, humanisasi dan
pluralis (Sutrisno, L. 2003; Suryadinata, L., dkk. 2003).
9.5
Masalah
Kriminalitas
Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah: korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau penyalahgunaan obat terlarang.
Hal-hal yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dalam bentuk tindakan kriminal antara lain:
Kriminalitas atau tindakan kriminal merupakan problem sosial yang bersifat laten (selalu ada dalam kehidupan masyarakat atau negara manapun), namun tindakan kriminal bukanlah penyimpangan perilaku yang dibawa sejak lahir, tetapi tindakan kriminal merupakan hasil dari sosialisasi sub budaya menyimpang. Tindakan kriminal sering dikategorikan sebagai tindak pidana atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Diantara contoh tindakan kriminal adalah: korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan, penipuan atau pemalsuan, penculikan, perkosaan, sindikat narkotik atau penyalahgunaan obat terlarang.
Hal-hal yang mendorong terjadinya perilaku menyimpang dalam bentuk tindakan kriminal antara lain:
-
Terjadinya
perubahan sosial, politik, ekonomi yang bersifat revolusi, misalnya terjadi
peperangan;
-
Terjadinya
kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat yang begitu besar, sebagai akibat
kesalahan strategi atau perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan;
-
Adanya peluang atau
kesempatan untuk terjadinya tindakan kriminal, karena alat-alat penegak hukum
tidak tegas atau tidak ada kepastian hukum di masyarakat;
-
Pemerintah yang
lemah (tidak bersih) dan aparat pemerintah yang korup, atau banyak muncul penjahat
kerah putih (white collar crime) di setiap departemen pemerintah atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga ekonomi;
-
Meningkatnya jumlah
penduduk yang tidak terkendali, sehingga jumlah pengangguran dan urbanisasi
meningkat;
-
Kondisi kehidupan
keluarga yang disintegratif; dan
-
Berkembangnya sikap
mental negatif, misalnya: hedonistis, konsumersitis, suka menempuh jalan pintas
dalam meraih tujuan dan sejenisnya (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Soetomo,
1995).
Pendekatan atau metode
yang dapat ditempuh untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal adalah:
-
Metode preventif, yaitu
cara pencegahan melalui pemberian informasi (penyuluhan), pendidikan,
pelaksanaan program pembangunan yang benar;
-
Metode represif, yaitu
cara pencegahan melalui pemberian hukuman, penangkapan dan pemenjaraan sampai
pada penembakan. Metode terbaik dalam menangani tindak kriminal adalah metode
preventif (Wilis,S. 1994).
9.6
Masalah
Aksi Protes, Pergolakan Daerah, dan Pelanggaran HAM
Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut adanya perhatian khusus dalam pemecahannya. Telebih kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan masyarakat.
Diantara sebab terjadinya aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, antara lain:
Aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, merupakan masalah sosial yang cukup kompleks, dan menuntut adanya perhatian khusus dalam pemecahannya. Telebih kondisi sosial budaya masyarakat yang multikultural, seperti di Indonesia. Hampir setiap hari terjadi aksi protes dan demonstrasi di daerah-daerah. Hal ini tentu dapat mengganggu proses perubahan atau pembangunan masyarakat.
Diantara sebab terjadinya aksi protes, pergolakan daerah dan pelanggaran HAM, antara lain:
a.
Terjadinya dominasi
mayoritas kepada minoritas disertai dengan tindakan sewenang-wenang dalam
berbagai aspek kehidupan; atau adanya pemaksaan kehendak antar kelompok di
masyarakat;
b.
Terjadinya
kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat yang sangat tinggi;
c.
Terjadinya perebutan
antar kelompok di masyarakat tentang sumber-sumber mata pencaharian hidup;
d.
Adanya pemaksaan
ideologi kelompok satu kepada kelompok lainnya (berkembangnya sikap
eksklusifisme/ primordialisme); dan
e.
Adanya tradisi masa
lalu sebagai warisan sejarah tentang konflik antar kelompok atau antar ethnik.
Ada
beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam proses pembangunan
masyarakat Indonesia, untuk meminimalkan terjadinya aksi protes, demonstrasi,
tindak kriminal, dan pelanggaran HAM, antara lain:
a. Merumuskan pokok-pokok kebijakan pembangunan masyarakat,
antara lain:
10.
Pembangunan harus
memihak rakyat, dinamis-berkelanjutan, menyeluruh, terpadu dan
terkoordinasikan;
11.
Pembangunan harus
memanfaatkan secara baik sumber daya masyarakat dan meningkatan partisipasi
peran masyarakatnya;
b. Memprioritaskan pembangunan sdm, yaitu membangun ketaatan
pada prinsip-prinsip moral (hukum) dan agama; sikap kesetiakawanan sosial;
kreativitas;
produktivitas; pengembangan rasionalitas; dan kemampuan menegakkan kemandirian untuk berkarya;
produktivitas; pengembangan rasionalitas; dan kemampuan menegakkan kemandirian untuk berkarya;
c. Program yang disusun di sektor pembangunan masyarakat,
betul-betul memperhatikan kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat, dengan
memperhatikan skala prioritas dan kondisi lingkungan fisik serta sosio-budaya
masyarakatnya;
d. Proses pembangunan sosial, ekonomi dan politik
masyarakat, harus lebih meningkatkan kearah otonomi daerah dan otonomi
masyarakat yang lebih berkualitas;
e. Proses pelaksanaan pembangunan masyarakat hendaknya
dilakukan secara demokratis, transparansi dan akuntabel dalam pengelolaan
keuangan; dan
f. Karena basis ekonomi masyarakat Indonesia adalah
pertanian, maka program pembangunan harus berbasis pada pembangunan teknologi
pertanian di pedesaan (Usman, S., 1998; Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto,
2004).
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Individu
adalah rasional dan produk dari hubungan sosial (interaksi social). Masyarakat adalah
dinamis dan berevolusi, menyediakan perubahan dan sosialisasi yang baru dari
individu. Realitas sosial adalah
bersifat individu dan sosial yang dinamik. Interaksi
sosial meliputi pikiran, bahasa dan kesadaran akan diri sendiri. Interaksi sosial
mengarah pada komunikasi non verbal. Sikap dan emosi individu dan kelompok
dipelajari melalui bahasa.
Pola aktivitas sosial itu sendiri memiliki aspek kreatif dan spontan.
2.
Saran
Interaksi sosial sangat diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat, maka jadilah individu yang mampu berinteraksi dalam kehidupan
bermasyarakat dengan baik.
DAFTAR
RUJUKAN
Sumber :
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/05/interaksi-sosial-definisi-bentuk-ciri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar