Kamis, 30 Mei 2013

Makalah Gangguan Prilaku Pada Anak



GANGGUAN PERILAKU PADA ANAK
KEPERAWATAN JIWA





Disusun oleh :

DAVIT RIO WIJAYA (11.015)





PRODI DIII KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI
2013








      ANAK DENGAN GANGGUAN EMOSI & PRILAKU

1.      Pengertian Gangguan Emosi dan Prilaku

Beberapa pengungkapan gangguan emosi dan gangguan perilaku yang diungkapkan di atas secara terpisah sebenarnya dipandang dari sisi abnormal, sementara itu di sisi lain gangguan emosional dan perilaku sendiri di definisikan dalam satu kesatuan disebutkan dengan istilah Emotional dan And Behavioral Disorder ataupun di Indonesia dikenal dengan istilah Tunaraksa.
Emotional And Behavioral Disorders (EBD) atau Gangguan Emosional Perilaku mengacu pada suatu kondisi di mana tanggapan perilaku atau emosional seorang individu di sekolah sangat berbeda dari norma-norma anak lain yang umumnya diterima, sesuai dengan usia, etnis, atau budaya yang mempengaruhi secara berbeda kinerja pendidikan di wilayah seperti perawatan-diri, hubungan sosial, penyesuaian pribadi, kemajuan akademis, perilaku di ruang kelas atau penyesuaian terhadap pekerjaan ...EBD lebih dari respon yang diharapkan dan bersifat sementara terhadap tekanan pada lingkup anak-anak atau remaja dan akan bertahan bahkan dengan intervensi individual, seperti umpan balik kepada individu, konsultasi dengan orang tua atau keluarga, dan / atau modifikasi pada lingkungan pendidikan ... Keputusan kelayakan harus didasarkan pada beberapa sumber data tentang berfungsinya perilaku individu atau emosional. EBD harus dilampirkan dalam setidaknya dua pengaturan yang berbeda, setidaknya salah satu yang harus terkait dengan sekolah ...EBD dapat hidup berdampingan dengan kondisi handicapp lain sebagaimana didefinisikan di tempat lain dalam undang-undang ini (IDEA) ... kategori ini bisa termasuk anak-anak atau remaja dengan schizophenia, gangguan afektif, atau dengan gangguan tingkah laku, perhatian atau penyesuaian yang berkelanjutan. (Council for Exceptional Children, 1991, hlm.10).
Gangguan emosi dan perilaku (ditjenPLB.com, 2006) juga diartikan sebagai anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya.
Hallahan dan Kauffman (2006) dapat dimulai dari tiga ciri khas kondisi emosi dan perilaku, antara lain yaitu :
a.       Tingkah laku yang sangat ekstrim dan bukan hanya berbeda dengan tingkah laku anak lainya.
b.      Suatu problem emosi dan tingkah perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara langsung.
c.       Tingkah laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan dengan harapan sosial dan kultural.
Heward & Orlansky (1988) dalam Sunardi (1996) mengatakan seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu:
1)      Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
2)      Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik.
3)      Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang dibawah keadaan normal.
4)      Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan atau depresi.
5)      Kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau ketakutan-ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau sekolah.

Simptom gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam, yaitu externalizing behavior dan internalizing behavior. Externalizingbehavior memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap orang lain, contohnya perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong, mencuri, dan kurangnya kendali diri. Internalizing behavior mempengaruhi siswa dengan berbagai macam gangguan seperti kecemasan, depresi, menarik diri dari interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama buruknya terhadap kegagalan dalam belajar di sekolah (Hallahan & Kauffman, 1988; Eggen & Kauchak, 1997).
Lebih lanjut, Hallahan & Kauffman (1988) menjelaskan tentang karakteristik anak dengan gangguan perilaku dan emosi, sebagai berikut:
a)      Intelegensi dan Prestasi Belajar
Beberapa ahli, seperti dikutip oleh Hallahan dan Kauffman, 1988. menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan ini memiliki inteligensi di bawah normal (sekitar 90) dan beberapa di atas bright normal.
b)      Karakteristik Sosial dan Emosi
Agresif, acting-out behavior (externalizing). Conduct disorder (gangguan perilaku) merupakan permasalahan yang paling sering ditunjukkan oleh anak dengan gangguan emosi atau perilaku. Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis, merusak, vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilakuperilaku tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering anak dengan conduct disorder
c)      Immature, withdrawl behavior (internalizing).
Anak dengan gangguan ini, menunjukkan perilaku immature (tidak matang atau kekanak-kanakan) dan menarik diri. Mereka mengalami keterasingan sosial, hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan untuk bersenang-senang. Beberapa di antara mereka mengasingkan diri untuk berkhayal atau melamun, merasakan ketakutan yang melampaui keadaan sebenarnya, mengeluhkan rasa sakit yang sedikit dan membiarkan “penyakit” mereka terlibat dalam aktivitas normal. Ada diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali pada tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta bantuan dan perhatian, dan beberapa diantara mereka menjadi tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas (Hallahan dan Kauffman, 1988).
2.      Penyebab Gangguan Tunalaras
1)      Kondisi atau Keadaan Fisik
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhanya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya. Kondisi ini kadang menimbulkan perasaan inferioritas dan menyebabkan ketidakstabilan emosi anak yang pada akhirnya berujung pada gangguan perilaku.
2)      Masalah Perkembangan
Erikson (dalm Singgih D. Gunarsa,1985:107) menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan berbagai tantangan satu krisis emosi. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini, individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan social atau masyarakat. Sebaliknya apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalh tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terjadi pada masa kanak-kanak dan masa pubertas.
3)      Lingkungan Keluarga
Keluarga memiliki pengaruh yang demikian penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan aman pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai peasaan dan sikap social.

Aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah gangguan emosi dan tingkah laku, yaitu :
a.       Kasih sayang dan perhatian
b.      Keharmonisan keluarga
c.       Kondisi ekonomi
4)      Lingkungan Sekolah
Timbulnya gangguan tingkah laku yang disebabkan lingkungan sekolah berasal dari guru dan fasilitas pendidikan. Perilaku guru yang otoriter mengakibatkan anak menjadi tertekan dan takut menghadapi pelajaran, sehingga anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran. Fasilitas pendidikan juga mempengaruhi gangguan tingkah laku. Sekolah yang tidak mempunyai fasilitas untuk anak menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang mengakibatka anak menyalurkan aktivitas pada hal-hal yang kurang baik.
5)      Lingkunga Masyarakat
Di dalam lingkugan masyarakat terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negative yang dapat memicu timbulnya perilaku menyimpang. Sikap masyarakat masyarakat yang negative ditambah banyaknya hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tngkah laku. Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima oleh kalangan remaja dapat menimbulkan konflik yang siftny negative.
3.      Pendidikan Pada Anak Tunalaras
Di dalam pelaksanaannya beberapa bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras antara lain adalah sebagai berikut :
a.       Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler.
Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
b.      Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas.
Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
c.       Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama.
Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
d.      Sekolah dengan asrama.
Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa pendidikan yang tepat untuk anak-anak Tunalaras ini adalah pendidikan Inklusi. Pendidikan inklusi ini sendiri merupakan pendidikan tidak berpihak pada homogenitas sekelompok siswa. Dengan kata lain secara implikasi pendidikan ini merupakan pendidikan yang tidak mengenal penyetaraan baik kemampuan akademik maupun non akademik bagi calon siswa, dan tidak pula mengenal istilah ‘mengeluarkan’ siswa dari sekolah karena bermasalah.
Pendidikan ini memungkinkan siswa untuk belajar bersama dengan anak normal lainnya, dan menyatakan penerimaan sepenuhnya pada anak berkebutuhan khusus, termasuk didalamnya anak-anak tunalaras.
Beberapa hal yang sebenarnya menyebabkan pendidikan inklusi banyak direkomendasikan untuk pendidikan anak tunalaras ini antara lain yaitu :
a)      Pendidikan inklusi mau merekrut semua jenis siswa
Pendidikan ini menyatakan bahwa anak yang beresiko tidak disukai bahkan mengalami penolakan lingkungan (Farell, 2008) sebagai sesuatu yang khas menimpa anak dengan tunalaras.
b)      Pendidikan inklusi menghindarkan semua aspek negatif seperti labeling
Labeling  merupakan hal yang dapat memberikan dampak buruk pada mereka yang diberi label negatif, dan sering kali mereka yang mendapat label adalah anak-anak kebutuhan khusus. Dengan penerimaan pada anak kebutuhan khusus dan normal dalam satu lingkungan belajar, tentu perasaan inferioritas tersebut bisa dihindarkan.
c)      Pendidikan inklusi selalu melakukan checks dan balances.
Pendidikan inklusi bukan hanya diatur oleh pihak formal, pemerintah dan sekolah sebagai penyelenggara. Dimana pendidikan ini memerlukan keseimbangan terkait pihak-pihak yang berkaitan dengan siswa itu sendiri, seperti orang tua, masyarakat, serta ahli terkait dengan karakteristik khusus (Farrell, 2008).


Sejalan dengan pendidikan Inklusi, hal yang juga penting untuk pendidikan anak Tunaraksa adalah Welcoming school. Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming School).


Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu institusi. Hal ini bisa dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar (all children can learn), setiap anak berbeda (each children are different) dan perbedaan itu merupakan kekuatan (difference ist a strength), dengan demikian kualitas proses belajar perlu ditingkatkan melalui kerjasama dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.
Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate), untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a changing world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).







DAFTAR PUSTAKA

1.      Davison, C.Gerald. Neale, M. John. Kring, M. Ann. 2010. Psikologi Abnormal, Edisi ke-9. Jakarta ; RajaGrafindo Persada
2.      Mahabbati, Aini. 2006. Identifikasi Anak dengan Gangguan Emosi dan Perilaku. JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS (JPK) ISSN 1858-0998. Vol.2 No.2 Nopember
3.      Mahabbati, Aini. 2010. Pendidikan Inklusi untuk Anak Dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tunalaras). JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS (JPK) ISSN 1858-0998. Vol.7 No.2 Nopember.
5.      http://vharsa.wordpress.com/2009/10/20/pembelajaran-tuna-laras/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar