A. Pengertian
Hiperbilirubin adalah
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal
(Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 –
1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana kadar
billirubinemia mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan
kernikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 1997).
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah
meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit,
konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).
B. Klasifikasi
1.
Ikterus Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah
ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar
patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai
potensi menjadi “kernicterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Ikterus patologik adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak
selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki
karakteristik sebagai berikut menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996),
(Tarigan, 2003) dalam (Schwats, 2005):
a.
Timbul pada hari kedua - ketiga.
b.
Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam
tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c.
Kecepatan
peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d.
Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e.
Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f.
Tidak mempunyai dasar patologis; tidak
terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
g.
Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis
atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi,
2003) bila:
1)
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah
kelahiran.
2)
Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau
> setiap 24 jam.
3)
Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg%
pada neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4)
Ikterus disertai proses hemolisis
(inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5)
Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr,
masa gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
2.
Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003)
adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai
suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12
mg% pada cukup bulan, dan 15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10
mg% dan 15 mg%.
3.
Kern Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak
akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum,
talamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar
ventrikulus IV.
Kern ikterus ialah
ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan
ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik
berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern ikterus secara
klinis berbentuk kelainan syaraf simpatis yang terjadi secara kronik.
C. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah
tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut;
1.
Polychetemia
2.
Isoimmun Hemolytic Disease
3.
Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4.
Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat,
kortikosteroid, kloramfenikol)
5.
Hemolisis ekstravaskuler
6.
Cephalhematoma
7.
Ecchymosis
8.
Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil
transferase, obstruksi empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik
galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI
9.
Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi,
hipoglikemi. Menurunnya ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
D. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk
pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika
RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi
heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme
akan diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan bebab bilirubin pada streptucocus
hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit
janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya
peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin
plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain,
misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau
sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu,
bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini
terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan
efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati
biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin
melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar
bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan
imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan
kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin
tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan
adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran
Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila
kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang
memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya
sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat
toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin
Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat
ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar
darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR
, hipoksia, dan hipoglikemia (AH Markum, 1991).
E. Pathways Lampiran
F. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang jelas pada anak yang menderita
hiperbilirubin adalah;
1.
Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit
dan membran mukosa.
2.
Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama
disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu
dengan diabetik atau infeksi.
3.
Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari
ke tiga, dan mencapai puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun
pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
4.
Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin
indirek pada kulit yang cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus
pada tipe obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan
atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5.
Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap
dan warna tinja pucat, seperti dempul
6.
Perut
membuncit dan pembesaran pada hati
7.
Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata
berputar-putar
8.
Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9.
Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi
mental
10. Bila
bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
G. Komplikasi
1.
Bilirubin enchepalopathy (komplikasi
serius)
2.
Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral
palsy, retardasi mental, hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi
otot dan tangisan yang melengking.
H. Pemeriksaan Diagnostik
1.
Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a.
Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi
prematur kadar billirubin lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar
billirubin 10 mg/dl merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
b.
Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c.
Protein serum total.
2.
USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang
kantong empedu.
3.
Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk
membantu membedakan hapatitis dan atresia billiari.
I. Penatalaksanaan
1. Pengawasan
antenatal dengan baik dan pemberian
makanan sejak dini (pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat
mengeksresi billirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan
sintesis hepatik glukoronil transferase yang mana dapat meningkatkan billirubin
konjugasi dan clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu
sering digunakan.
5. Antibiotik,
bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan
apabila telah ditegakkan hiperbillirubin patologis dan berfungsi untuk
menurunkan billirubin dikulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada
billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi
tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak
dapat ditangani dengan foto terapi.
J. Diagnosa dan Intervensi
1.
Resiko tinggi cedera b.d. meningkatnya kadar
bilirubin toksik dan komplikasi berkenaan phototerapi.
Tujuan : Klien tidak menunjukan gejala sisa neurologis
dan berlanjutnya komplikasi phototerapi.
Kriteria hasil :
Kriteria hasil :
Rencana Rational
a.
Identifikasi adanya faktor resiko :
1)
Bruising
2)
Sepsis
3)
Delayed ord clamping
4)
Ibu dengan DM
5)
Rh, ABO antagonis
6)
Pletora
7)
SGA
b.
Kaji BBL terhadap adanya hiperbilirubinemia
setia 2-4 jam lima hari pertama kehidupan
Rasional: BBL
sangat rentan terhadap hiperbilirubinemia.
c.
Perhatikan dan dokumentasikan warna kulit
dari kepala, sclera dan tubuh secara progresif terhadap ikterik setiap
pergantian shift
Rasional: Mengetahui
addanya hiperbilirubinemi secara dini sehingga dapat dilakukan tindakan
penanganan segera.
d.
Monitor kadar bilirubin dan kolaborasi bila
ada peningkatan kadar
Rasional: Peningkatan
kadar bilirubin yang
tinggi
e.
Monittor kadar Hb, Hct ata adanya penurunan
Rasional: Adanya
penurunan Hb, Hct menunjukan adanya hemolitik
f.
Monitor retikulosit, kolaborasi bila ada
peningkatan
g.
Berikan phototerapi:
Rasional: phototerapi
berfungsi mendekomposisikan bilirubin dengan photoisomernya. Selama phototerapi
perlu diperhatikan adanya komplikasi seperti: hipertermi, Konjungtivitis,
dehidrasi.
1)
Sesuai protocol untuk waktu, prosedur, dan
durasi.
2)
Monitor kadar bilirubin setia 6 – 12 jam
under therapy
3)
Tutup mata dengan tameng mata, hindari
tekanan pada hidung
4)
Ganti bantalan mata sedikitnya 2 kali sehhari
5)
Inspeksi mata dengan lampu sedikit nya 8 jam
sekali
6)
Pertahankan terapi cairan parenteral untuk
hidrasi kolabborasi medis
7)
Pertahankan suhu axila 36.5 dderajat Celsius
h.
Lakukan transfusi tukar kolaborasi medis
Rasional: Transfusi
tukar dilakukan bila terjadi hiperbilirubinemia pathologis karena terjadinya
proses hemoliitik berlebihan yang disebabkan oleh ABO antagonis.
1)
Monitor
vital sign selama dan setelah transfusi tukar
2)
Periksa darah yang keluar dan masuk
3)
Adanya faktor resiko membimbing perawat untuk
waspada terhadap kemungkinan munculnya hiperbilirubinemia
2.
Resiko tinggi kekurangan volume cairan b.d.
phototerapi.
Tujuan : Klien tiidak menunjjukan tanda-tanda kekurangan
volume cairan
Rencana Rasional
a.
Pertahankan intake cairan :
1)
Timbang BB perhari
2)
Ukur intake output
3)
Berikan intake extra peroral atau per IV jika
ada kehilangan BB progresif,
4)
meningkatnya suhu, diare, onsentrasi urine,
b.
Kaji Output:
c.
Rasional:
Output
yang berlebihan atau tidak seimbang dengan intake akan menyebabkan gangguan keseimbangan
cairan.
1)
Kaji jumlah, warna urine setiap 4 jam
2)
Kaji Diare yang berlebihan
3)
Kaji Hidrasi:
Rasional: Hidrasi
yang adekuat menunjukan keseimbangna cairan tubuh baik yang ditunjukan dengan
suhu tubuh 36-37 derajat Celsius dan membran mukosa mulut lembab dan fontanela
datar.
4)
Monitor suhu tubuh tiap 4 jam
5)
Inspeksi membran mukosa dan pontanel 1.
Intake cairan yang adekuat metabolisme
bilirubin akan berlangsung sempurna dan terjadii keseimbangan dengan caairan
yang keluar selama photo terapi karena penguapan.
3.
Kerusakan integritas kulit b.d. efek dari
phototerapi.
Tujuan : Klien tidak menunjukan gangguan integritas kulit
a.
Monitor adanya kerusakan integritas kulit
Rasional: Deteksi
dini kerusakan integritas kulit
b.
Bersihkan kulit bayi dari kotoran setelah
BAB, BAK
Rasional: Feses dan urine yang bersifat asam dapat
mengiritasi kulit
c.
Pertahankan suhu lingkungan netral dan suhu
axial 36.5 derajat Celsius
Rasional: Suhu
yang tinggi menyebabkan kulit kering sehingga kulit mudah pecah
d.
Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam.
Rasional: Perubahab
posisi mempertahankan sirkulasi yang adekuat dan mencegah penekanan yang
berlebihan pada satu sisi.
e.
Berikan istirahat setelah 24 jam phototerapi
Daftar Pustaka
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I.
Fajar Inter Pratama. Jakarta.
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina
Pustaka. Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse,
Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan
Maternal / Bayi. EGC. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar